bisnis online

Wednesday, February 25, 2009

Paket Investasi - Menyelamatkan Hutan dengan Solusi 2

Sambungan dari Bagian 1

Sebagian besar program penghijauan dilakukan tanpa ada solusi yang ditawarkan sebagai pengganti hilangnya penghasilan dari mengolah lahan di sabuk hijau. Solusi yang ditawarkan ini menjadi penting ketika terlihat bahwa sebagian besar perusakan hutan di sabuk hijau dengan alasan memenuhi kebutuhan perut dan kebutuhan jangka menengah, bukan dalam ide untuk memperkaya diri sebagaimana yang dilakukan para pembalak liar.


Menawarkan solusi ekonomi kepada warga pengolah, juga dengan tujuan membangun ownership mereka secara bersama. Pola yang bisa dilakukan adalah menyerahkan pengelolaan lahan kepada kelompok tani di sekitar DAS, mulai dari penanaman, perawatan, hingga dalam mengolah dan memanen hasil tanaman. Sehingga jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kelompok, sanksi yang diberikan pun bersifat sosial, bukan dengan pendekatan hukum atau kekerasan oleh aparat.

Memberikan alternatif solusi dalam penghijauan lahan DAS memang tidak mudah. Terutama dalam memilih pohon tegakan utama yang akan memberikan nilai ekonomis tanpa perlu peremajaan sesuai dengan kondisi tanah di DAS. Misalnya alternatif yang bisa adalah pohon kapuk Togo B yang pada usia 10 tahun sudah memiliki rentangan daun hingga limabelas meter. Selain itu buah kapuknya sendiri memiliki nilai jual. Alternatif lain adalah tanaman Jabon (Anthocepalus Cadamba), tanaman keras asli dari India, mampu mencapai pokok setinggi 12 meter dalam waktu 6 tahun, dengan diameter batang mencapai 50 cm.

Pertimbangan yang sama perlu dilakukan pada penentuan komoditas yang bisa digunakan sebagai tanaman sela diantara tanaman tegakan utama. Mengingat tidak banyak tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan cocok ditanam di bawah tegakan pohon. Untuk itu bisa dilakukan pola tanam sesuai dengan usia tanaman tegakan.

Tahun pertama dan kedua, ketika naungan masih belum begitu rapat, di antara pohon tegakan masih bisa ditanami jagung, palawija dan singkong. Tanaman ini masih tidak asing bagi petani, sehingga tidak diperlukan treatment apapun.

Pada tahun ketiga, dan seterusnya, ketika naungan daun semakin rapat, sinar matahari tidak cukup untuk bisa menembus rapatnya daun tegakan. Pada saat inilah bisa diperkenalkan tanaman Porang (Amorphophallus Onchophillus / Muelleri Sp) sebagai tanaman sela. Tanaman ini sekeluarga dengan tanaman serupa yang sudah lebih dulu dikenal dan dimanfaatkan warga sebagai bahan makanan pokok alternatif, yaitu suweg.

Karakteristik yang khas dari Porang adalah kemampuannya untuk hidup di lahan dengan sinar matahari kurang dari 50%, ciri khas lain adalah umbinya sangat gatal jika hanya direbus biasa karenanya tidak bisa langsung dikonsumsi. Tanaman ini sudah dikenal sebagai komoditi ekspor ke Jepang, Taiwan, Korea dan negara-negara lain yang memiliki budaya serupa, sebagai bahan makanan khas, yaitu Konnyaku. Karena pada dasarnya tumbuh di hutan-hutan, tanaman ini tidak memerlukan perawatan yang intensif, hanya jika diperlukan bisa dilakukan penyiangan dan pemupukan seperlunya dengan pupuk kandang.

Di Jawa Timur sudah dilakukan budidaya secara intensif, sebagai inisiatif Perhutani dalam merangkul warga sekitar hutan secara bersama-sama menyelamatkan dan mengelola hutan melalui wadah LMDH (Lembaga Masyarakat Dekat Hutan). Harga keripik porang kering yang mencapai Rp 13.000,- /kg, sangat menggiurkan, jika dibandingkan dengan gaplek singkong yang hanya berkisar Rp 2.000 /kg. Dari satu hektar lahan bisa dihasilkan rata-rata 5 ton keripik Porang.

Tiga hal yang sangat perlu diperhatikan agar program penghijauan dengan pola ini bisa lebih cepat terlihat hasilnya adalah, pertama, perlu diperhatikan jarak tanam, yaitu antar pohon minimal 5 meter. Sehingga sejak tahun kedua naungan daun sudah mencapai kerapatan minimal 60%, dimana kondisi ini cocok untuk digunakan membudidayakan Porang.


Kedua, sejak tahun pertama, sangat penting untuk melakukan percontohan budidaya porang di lahan lain, dalam lingkungan kelompok tani pengelola DAS tersebut. Yaitu disamping untuk mengenalkan pola budidaya Porang sebagai tanaman baru, mengenalkan metoda budidaya dan pengolahan pasca panen, juga untuk meyakinkan petani bahwa komoditas tersebut benar-benar bisa laku sesuai dengan harga yang diinformasikan.

Ketiga, secara alamiah Porang baru bisa dipanen pada tahun ketiga yaitu ketika berat satuan umbi mencapai 1,5 – 2 kg, karena itu sangat penting untuk dipikirkan pengadaan bibit yang bisa langsung dipanen sejak tahun pertama, yaitu bibit berupa umbi seberat 3 – 4 ons.

Rasanya hal-hal tersebut di atas bisa secara komprehensif menjawab permasalahan lingkaran setan program penghijauan dan konservasi lahan, khususnya di DAS di seluruh Indonesia. Dan meskipun di atas kertas terlihat sebagai hal yang sederhana, kenyataan di lapangan tetap memerlukan komitmen dari seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS, dan semua pihak lain yang peduli pada kelestarian ekologi.

cbudiyanto@0209
Artikel disiapkan untuk media
Lihat Bagian 1

Paket Investasi - Menyelamatkan Hutan dengan Solusi 1

Semua sudah mahfum, bahwa kerusakan DAS Bengawan Solo terutama di hulu sungai sudah pada taraf sangat mengkhawatirkan. Sabuk hijau di sekitar aliran sungai yang merupakan daerah tangkapan hujan dan sekaligus penahan tanah dari erosi karena air hujan, sudah berubah menjadi lahan pertanian yang didominasi oleh tanaman semusim.


Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 mencatat peringkat pertama vegetasi yang menutupi subsistem sekitar sungai adalah singkong. Maka sudah tepat jika Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (3/1/2008), akhirnya mengemukakan niatnya mengambil langkah fundamental penyelamatan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo. (Kompas, 8 Januari 2008)

Namun perlu dicermati bahwa program penghijauan bukan sekali ini saja dilakukan. Sudah banyak organisasi non pemerintah atau pemerintah sendiri yang memberikan bibit tanaman kepada warga di sekitar DAS Bengawan Solo dalam program reboisasi dengan tujuan menghijaukan kembali daerah di kanan-kiri sungai yang sudah berubah fungsi. Bahkan hutan sabuk hijau di sekitar hulu sungai Bengawan Solo, sebelum aliran sungai masuk ke kawasan Waduk Gajah Mungkur, adalah bukti bahwa pemerintah telah merencanakan peruntukan lahan sebagai langkah konservasi Bengawan Solo. Dimana sekian ratus meter dari aliran sungai adalah kawasan hutan lindung dengan tanaman keras seperti akasia, mahoni dan sengon. Hingga akhir tahun 80an hutan sabuk hijau tersebut masih cukup lebat, menjadi habitat burung liar, dan mampu menampung air hujan sebagai air tanah. Di dalam kawasan hutan lindung tersebut masih bisa ditemuai aliran kali kecil dengan airnya yang bening didiami ikan air tawar.

Fakta kerusakan hutan lindung pada sabuk hijau DAS Bengawan Solo, dengan segala permasalahannya semestinya dijadikan pelajaran dalam mengelola program penghijauan secara efektif. Harus dicermati masalah sosial dan ekonomi yang melatar belakangi kondisi tersebut, diantaranya sebagai berikut :


1. Kondisi perekonomian petani penggarap lahan DAS rata-rata kurang baik dan sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Lahan yang mereka miliki rata-rata lahan tadah hujan yang hanya bisa ditanami palawija pada musim hujan dan setelahnya ditanami singkong dengan hasil yang minim. Mengolah lahan pasang surut di bantaran sungai adalah alternatif menambah penghasilan bagi warga dengan lahan garapan terbatas ini.

2. Sabuk hijau DAS di bawah pengawasan mantri hutan. Mereka tidak efektif melakukan pengawasan karena beberapa hal, pertama mantri hutan seringkali tidak menempati rumah dinas yang disediakan dalam kawasan hutan, kedua karena keterbatasan personil tidak sebanding dengan area yang harus diawasai, ketiga karena tidak tegasnya para pelaksana di lapangan dalam menegakkan peraturan, keempat semakin hilangnya kesadaran masyarakat untuk tidak mengambil barang yang bukan hakknya, sebagai dampak dari budaya dan contoh koruptif dari para pembesar negara, kelima semakin beratnya tuntutan hidup karena perubahan pola hidup konsumerisme .

3. Perusakan dilakukan secara bertahap dan sistematis. Ranting-ranting dan dahan kecil dipotong untuk keperluan kayu bakar, kemudian sampah daun-daunan dibakar di pangkal pohon, lama kelamaan pohon akan kering dan mati, ketika itu baru pohon ditebang. Hal yang terlihat sederhana ini, akan membawa dampak luas ketika secara komunal dan terus menerus warga melakukan hal yang sama.

4. Program penghijauan dengan menyerahkan bibit tanaman kepada petani sangat tidak efektif. Karena tidak ada pengawasan dan evaluasi atas jalannya program. Kenyataan di lapangan bibit pohon tersebut bisa saja ditanam di lahan perorangan yang tidak termasuk dalam area penghijauan. Atau ketika ditanam di lahan penghijauan secara sengaja tidak diberikan perawatan yang memadai, sehingga akhirnya pohon tersebut pun mati. Akhirnya gerakan penghijauan yang dilakukan tak lebih hanya mekanisme menghambur-hamburkan anggaran dan bagi-bagi rejeki kepada para rekanan.

Bersambung ke bagian - 2

Tuesday, February 10, 2009

Mensiasati Keterbatasan

Permasalahan klasik dari pebisnis manapun adalah : Modal.
Begitu juga yang akan dialami oleh para pemain bisnis Porang/Iles-iles ketika akan memulai bisnis baik dengan cara budidaya mandiri maupun kemitraan.
Tetapi sebenarnya setiap masalah (sepertinya) diciptakan Allah, selalu disertai dengan alternatif solusi yang bisa diambil manusia. Tinggal bagaimana manusia menggunakan kemampuan berpikir, kebijaksanaan dan kesabarannya untuk mengambil langkah yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing.

Begitu juga dengan bisnis porang yang diprediksikan akan menjadi salah satu komoditi andalan agrobisnis. Ada masalah-masalah yang timbul ketika kita hendak memulai usaha ini (saya sendiri juga sempat mengalaminya - karenanya artikel ini sebenarnya lebih bersifat sharing dari yang saya alami)

Masalah yang pertama adalah : Lahan.
Porang memiliki kebutuhan lahan dengan spesifikasi tertentu. Teduh, terlindung dari panas, tidak becek, tidak berada di ketinggian, juga tidak terlalu asam. Jadi meski tidak membutuhkan perlakuan khusus, syarat-syarat lahan di atas perlu dipenuhi. Sampai saat ini pilihan lahan adalah area hutan milik perhutani / dephut. Jika ternyata di sekitar anda tidak ada hutan milik BUMN ini, jangan kecil hati, anda tidak harus memiliki lahan sendiri. Tipsnya, pasti ada warga yang memiliki lahan berupa kebun kayu yang 'biasanya' dibiarkan nganggur, tidak dimanfaatkan, karena menganggap satu-satunya penghasilan dari kebun kayu (jati, sengon, jabon, dll ) adalah kayu itu sendiri. Yang masa investnya cukup lama. Nah anda bisa menyarankan/menawarkan kepada pemilik lahan kebun tersebut untuk melakukan tumpangsari di lahan tersebut. Anda untung pemilik lahan untung. Malah keuntungan buat pemilik lahan bisa ganda. karena dengan ditanami, dirawat, dipupuk, lahan akan semakin subur,dan tanaman kayu sebagai tanaman utama akan memberikan hasil lebih cepat.

Masalah kedua adalah : bibit (modal pengadaan)
Memang masalah siklus investasi akan mengemuka ketika sudah menyinggung tentang bibit, dan modal pengadaan bibitnya. Karena investor besar pasti membandingkan dengan investasi di saham atau moda lain yang return value nya besar dan waktunya pendek. Makanya, jika anda tidak memiliki modal sendiri (yang cukup banyak) untuk membeli bibit siap panen (yang dalam 1 musim tanam sudah bisa panen), kenapa tidak membeli bibit yang perlu nunggu sekian musim untuk siap dipanen. Misalnya dengan bibit katak / bulbil. Memang secara return masih perlu paling tidak 3 tahun untuk panen dari bibit ini. Tetapi - ya itu tadi - kalau modal terbatas tidak ada salahnya untuk menunggu. Bulbil dengan harga 20 rb / kg berisi sekitar 100 biji. Selama 3 tahun (3 musim tanam) anda bisa menghasilkan 100 x 2 kg = 200 kg.. Dengan nilai jual 1500/kg lumayan lah.. Belum lagi ada potensi anda bisa menjual bibit umbi ketika umbi berusia 2 tahun. harganya jauh berada di atas harga jual umbi produksi.

Masalah ketiga adalah : biaya budidaya (pupuk, perawatan)
Jika anda bermitra dengan pemilik lahan, sebenarnya bisa win-win kalau anda menyediakan bibit, mereka merawat dan panenan anda beli. Tetapi seringkali di fase "meyakinkan" petani, anda perlu keluar modal sendiri. Jika tantangannya adalah anda harus merawat sendiri, bahkan harus menyewa lahan. Nah ini waktunya ada sedikit kreatif, terutama untuk penggunaan pupuk dan menyiangi lahan. Pupuk, sebaiknya gunakan sebanyak mungkin pupuk kandang. Kalau di desa, kadang kotoran ternak tidak terlalu banyak digunakan (karena hasilnya dianggap kurang "greng", tidak seperti kalau pakai pupuk kimia). Nah kesempatan anda untuk memanfaatkan pupuk ini. Begitu juga dengan penyiangan, sebenarnya lahan di bawah kebun kayu (jati dll) rumput tidak terlalu masalah, karena jarang memperoleh sinar matahari, rumput jarang tumbuh, sebaliknya ketika sinar matahari mencapai dasar lahan, tanah kering (pada musim kemarau).