bisnis online

Saturday, November 14, 2009

"Virus Porang" - Strategi Menjamin Pasokan

Permasalahan niaga porang yang mulai kritis dan mendesak untuk ditangani adalah, ketersediaan pasokan, baik secara jumlah maupun kontinuitas stock. Dari artikel di http://www.kapanlagi.com/h/0000181669.html, terungkap permintaan pasar luar negeri sebesar 104 ton baru bisa dipenuhi 24 ton, pada tahun 2007. Kalaupun tahun 2008 ini kapasitas sudah meningkat, rasanya tidak lebih dari 48ton (200% dari kapasitas tahun 2007), itupun baru mencukupi 46% permintaan dan dengan asumsi permintaan pasar tidak meningkat lagi. Selain artikel di atas, telepon/sms/email yang masuk, cukup membuktikan tingginya demand saat ini.

Mengingat musim panen hanya 3-4 bulan dalam satu tahun dengan kapasitas jauh di bawah permintaan, saya rasa sekaranglah waktunya untuk menyebarkan "virus porang". Tujuan ganda dari virus ini adalah, menjamin pasokan porang dengan harga yang logis (ingat, demand tinggi sementara supply kurang, bisa menciptakan harga semu, dan jika harga sudah tidak masuk akal, kompetitor dari China, Thailand dan India pasti dengan mudah mengisi pasar), yang kedua adalah - tentu saja - aspek sosial yaitu perekonomian petani sebagai penggarap dan pemilik lahan bisa meningkat.

Cara menyebarkan virus ini, tidak terlalu rumit. Di tahun pertama, gunakan seberapapun lahan yang anda miliki, asal memenuhi persyaratan tanam, belilah bibit secukupnya, dan tanamlah di lahan anda. Sambil menanam - ini yang paling penting dari penyebaran virus ini - jawab pertanyaan dari para petani tentang apa yang anda tanam, bagaimana potensi penjualannya, dan sebagainya, point utama yang harus disampaikan adalah harga lebih tinggi dari gaplek kering (sekarang ini harga gaplek terakhir adalah Rp 1.050/kg - sementara porang basah anda beli seharga Rp 1.250 pun anda sudah untung), dan pada musim mendatang anda bisa memberikan mereka bibit sekaligus membeli hasil panen mereka. Petani hanya perlu menyediakan lahan, pupuk kandang, menanam dan memanen porang.

Di musim depan, pastikan anda bisa mencukupi permintaan bibit, sehingga anda bisa memberikan bibit katak/bulbil hasil dari panenan anda sendiri kepada petani. (sementara anda sudah panen umbi dan buktikan kalau laku hasilnya laku dijual). Musim berikutnya, beli panenan mereka (berapapun ukuran umbi yang dihasilkan dari katak), sortir , yang cukup besar silahkan dirajang menjadi chips (tetapi biasanya usia 1 tahun belum cukup besar), yang masih kecil siap untuk bibit umbi. Pada saat ini, katak/bulbil dari petani tidak perlu anda beli, karena katak tersebut yang bisa mereka gunakan untuk bibit, tanpa anda beri lagi.

Sedangkan umbi kecil dari petani pertama, anda berikan kepada petani lain, gratis, untuk ditanam di lahan mereka, dengan syarat harus dijual kembali kepada anga. Sementara petani yang pertama tadi sudah memiliki katak untuk ditanam.

Begitu seterusnya. Dengan metoda bibit bergulir semacam ini, paling tidak anda sudah menularkan "Virus Porang" kepada para petani di daerah anda. Dan mulai akhir tahun kedua, Insya Allah, pasokan porang anda sudah cukup banyak,ajeg dan terus berkembang melebihi kapastias lahan yang anda miliki sendiri.

Tuesday, June 2, 2009

Alat Pengering Murah Berbiaya Rendah

Hingga awal bulan Juni ini, hujan masih terus turun setiap hari. Kalaupun tidak turun hujan, sering terjadi mendung menggantung sepanjang hari. Beberapa teman yang mengolah chips porang dengan mengandalkan sinar matahari mengeluhkan produktifitas dan kualitas yang turun.
Sebenarnya masalah dengan hujan bukan hanya dihadapi oleh prosesor chips porang saja, curah hujan yang tinggi di musim yang seharusnya sudah kemarau ini, juga akan menyulitkan pemanenan dan mengurangi daya simpan umbi. Baik umbi untuk produksi maupun umbi yang disiapkan untuk bibit.

Melihat kondisi ini, perlu dipikirkan implementasi alat pengering dengan investasi murah, biaya operasional rendah, dan bisa berdaya guna mengatasi halangan alam (hujan, mendung, malam hari). Apalagi karakter dari irisan porang sendiri, setelah umbi diiris, jika tidak segera dijemur terpisah bisa lengket satu sama lain. Dan ujung-ujungnya muncul cendawan keputih-putihan jika tidak segera kering.

Setelah berselancar di internet pada keyword teknologi tepat guna, beberapa hasil riset alat pengering terlihat sangat menarik. Karena , misalnya pengering tenaga surya IAT meski tetap menggunakan matahari (tentu saja) sebagai generator panas, tetapi memerangkap panas yang dihasilkan oleh kolektor (berbahan seng gelombang) di dalam ruang pengeringan. Sehingga seluruh ruang tertutup di dalam pengering memiliki tingkat panas yang sama (disebutkan mencapai rata-rata 50 derajat celcius).
Ada lagi pengering yang menggunakan teknik rumah kaca untuk memerangkap panas matahari. Dengan ruangan semi cone berdinding kaca yang bisa diputar mengikuti sinar matahari, matahari langsung bisa menyinari benda yang dikeringkan pada rak-rak bertingkat, dan udara panas tidak serta merta terbuang begitu saja, tetapi berputar-putar di dalam ruangan secara merata. untuk membuang uap air yang berasal dari penguapan, digunakan exhauster yang berputar di bagian atas. Menariknya pada alat ini dilengkapi dengan mekanisme pemanasan dengan bahan bakar biomass (ranting, kayu, sampah organik atau kotoran binatang), jadi bisa berdaya guna jika diperlukan untuk pengeringan tanpa henti di malam hari. Atau jika cuaca mendung dan hujan sekalipun.

Dari semua alat di atas, yang paling menarik adalah dengan mesin pengering berbahan bakar arang / kayu. Alat ini tidak memerlukan space terlalu luas, hanya sepersekian dari luasan lahan yang diperlukan jika mengeringkan dengan panas matahari langsung. Dengan alat pengering, yang jelas, kontinyuitas produksi bisa dijamin, tanpa terganggu cuaca, hasil pengeringan pasti lebih bersih karena terlindung dari debu dan kotoran tanah lain, kapasitas pengukuran bisa terukur dengan pasti.

Jadi, bisa dicoba..

Monday, April 20, 2009

Menghasilkan chips berkualitas

Mengolah umbi porang menjadi chips memiliki tantangan tersendiri. Meskipun kadang kita temui requirement yang berbeda dari satu buyer ke buyer yang lain, terutama dalam standard ketebalan dan ukuran umbi yang di proses. Ada buyer yang saya temui menginginkan chips dengan ketebalan 1/5 cm ke atas, ada yang tipis-tipis 2 - 3 mm, ada buyer yang mensyaratkan umbi yang dirajang berukuran minimal 15 cm, ada juga yang ukuran berapapun bisa dirajang. Meski perbedaan requirement di atas, semuanya mensyaratkan hal yang sama : PUTIH dan BERSIH !!.
(tapi ingat ini bukan iklan cream kecantikan lho ya... )

Berikut ini adalah beberapa teknik yang bisa dilakukan untuk menjamin kualitas produk.
1. Pastikan umbi sehat, bersih, dan tidak bercendawan. Jika umbi anda sudah telanjur bercendawan, cuci bersih dengan air untuk menghilangkan bagian-bagian yang sudah rusak tersebut. Pencucian juga bisa untuk memastikan tanah dan kotoran-kotoran lain yang menempel ke umbi hilang.

2. Gunakan pisau yang tajam dan cukup kaku sehingga tidak melengkung ketika umbi dipotong. Terdapat berbagai tipe alat perajang yang digunakan baik yang seperti ketam (pisau bergerak - umbi diam) atau sebaliknya pisau diam umbi digerakkan. Secara prinsip tidak ada masalah, hanya ketika pisau tidak cukup tajam atau pisau terlalu tipis sehingga melengkung ketika mengiris, ada kemungkinan menyebabkan ketebalan irisan tidak sama. Ketebalan irisan yang tidak seragam akan menambah proses sortir sehingga produksi akan sedikit terhambat.

3. Pastikan digunakan alas yang bersih. Pada tulisan yang lalu saya sebutkan penggunaan widhig (anyaman bambu tebal) dalam penjemuran, selain ini bisa saja irisan langsung dijemur di lantai semen, tentunya dengan catatan lantai sudah dibersihkan dari kotoran dan tanah.

4. Ketebalan irisan akan menentukan berapa lama (hari) irisan harus dijemur. Jadi jika pada malam hari irisan masih belum kering, bisa digunakan terpal plastik untuk menutupi irisan, sehingga tidak terkena embun. Hal ini bisa juga diterapkan pada waktu gerimis atau turun hujan.

Nah selamat berproduksi. Have a nice business !!!

Monday, March 30, 2009

Menyiapkan panenan Porang

Semakin mendekati masa panen - meski di beberapa daerah pengepul sudah berlomba-lomba berburu porang di hutan-hutan, karena prinsipnya siapa cepat yang dapat - bagi para petani yang sudah membudidayakan porang secara intensif, semakin terbayang gemerincing rupiah yang bisa diperoleh. Dengan budidaya, margin yang bisa diperoleh semakin besar, dibandingkan dengan jika hanya mengumpulkan tanaman liar di hutan, karena siklus budidaya yang intensif dengan komposisi lahan produksi dan lahan bibit bisa menyebabkan biaya nol untuk pembelian bibit. Selain itu, budidaya memiliki kelebihan dibandingkan dengan berburu di hutan yaitu konsistensi ukuran dan kontinuitas panen yang bisa di jaga. Dengan budidaya, ukuran umbi hasil panen bisa dipilih dengan hanya memanen umbi yang berusia tiga tahun atau lebih atau minimal memiliki berat 1.5 kg.

Sebagai persiapan panen, untuk menghasilkan umbi berkualitas, utuh, bersih tidak berjamur terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan.

1. Pada saat menggali tanah untuk mengambil umbi, harus diperkirakan jarak yang optimal dari batang sehingga cangkul / alat penggali tidak sampai menyebabkan umbi luka atau bahkan terbelah.

2. Tiriskan umbi yang masih basah, kalau tanah cukup kering atau gembur, tanah yang membungkus umbi bisa langsung di buang dengan tangan. Sedangkan jika tanah yang menempel umbi terlalu becek, perlu di jemur. Tanah yang kering bisa dengan mudah dikeringkan.

3. Letakkan umbi panenan di tempat yang terbuka, teduh, dan tidak terkena air hujan atau air yang lain secara langsung. Jangan sampai ada air yang tergenang mengenai umbi yang sudah kering tersebut.

4. Jangan simpan hasil panen di dalam karung plastik atau di atas karung plastik. Panas yang di timbulkan karena sentuhan dengan karung plastik, bisa menyebabkan umbi gerah dan busuk.

Wednesday, February 25, 2009

Paket Investasi - Menyelamatkan Hutan dengan Solusi 2

Sambungan dari Bagian 1

Sebagian besar program penghijauan dilakukan tanpa ada solusi yang ditawarkan sebagai pengganti hilangnya penghasilan dari mengolah lahan di sabuk hijau. Solusi yang ditawarkan ini menjadi penting ketika terlihat bahwa sebagian besar perusakan hutan di sabuk hijau dengan alasan memenuhi kebutuhan perut dan kebutuhan jangka menengah, bukan dalam ide untuk memperkaya diri sebagaimana yang dilakukan para pembalak liar.


Menawarkan solusi ekonomi kepada warga pengolah, juga dengan tujuan membangun ownership mereka secara bersama. Pola yang bisa dilakukan adalah menyerahkan pengelolaan lahan kepada kelompok tani di sekitar DAS, mulai dari penanaman, perawatan, hingga dalam mengolah dan memanen hasil tanaman. Sehingga jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kelompok, sanksi yang diberikan pun bersifat sosial, bukan dengan pendekatan hukum atau kekerasan oleh aparat.

Memberikan alternatif solusi dalam penghijauan lahan DAS memang tidak mudah. Terutama dalam memilih pohon tegakan utama yang akan memberikan nilai ekonomis tanpa perlu peremajaan sesuai dengan kondisi tanah di DAS. Misalnya alternatif yang bisa adalah pohon kapuk Togo B yang pada usia 10 tahun sudah memiliki rentangan daun hingga limabelas meter. Selain itu buah kapuknya sendiri memiliki nilai jual. Alternatif lain adalah tanaman Jabon (Anthocepalus Cadamba), tanaman keras asli dari India, mampu mencapai pokok setinggi 12 meter dalam waktu 6 tahun, dengan diameter batang mencapai 50 cm.

Pertimbangan yang sama perlu dilakukan pada penentuan komoditas yang bisa digunakan sebagai tanaman sela diantara tanaman tegakan utama. Mengingat tidak banyak tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan cocok ditanam di bawah tegakan pohon. Untuk itu bisa dilakukan pola tanam sesuai dengan usia tanaman tegakan.

Tahun pertama dan kedua, ketika naungan masih belum begitu rapat, di antara pohon tegakan masih bisa ditanami jagung, palawija dan singkong. Tanaman ini masih tidak asing bagi petani, sehingga tidak diperlukan treatment apapun.

Pada tahun ketiga, dan seterusnya, ketika naungan daun semakin rapat, sinar matahari tidak cukup untuk bisa menembus rapatnya daun tegakan. Pada saat inilah bisa diperkenalkan tanaman Porang (Amorphophallus Onchophillus / Muelleri Sp) sebagai tanaman sela. Tanaman ini sekeluarga dengan tanaman serupa yang sudah lebih dulu dikenal dan dimanfaatkan warga sebagai bahan makanan pokok alternatif, yaitu suweg.

Karakteristik yang khas dari Porang adalah kemampuannya untuk hidup di lahan dengan sinar matahari kurang dari 50%, ciri khas lain adalah umbinya sangat gatal jika hanya direbus biasa karenanya tidak bisa langsung dikonsumsi. Tanaman ini sudah dikenal sebagai komoditi ekspor ke Jepang, Taiwan, Korea dan negara-negara lain yang memiliki budaya serupa, sebagai bahan makanan khas, yaitu Konnyaku. Karena pada dasarnya tumbuh di hutan-hutan, tanaman ini tidak memerlukan perawatan yang intensif, hanya jika diperlukan bisa dilakukan penyiangan dan pemupukan seperlunya dengan pupuk kandang.

Di Jawa Timur sudah dilakukan budidaya secara intensif, sebagai inisiatif Perhutani dalam merangkul warga sekitar hutan secara bersama-sama menyelamatkan dan mengelola hutan melalui wadah LMDH (Lembaga Masyarakat Dekat Hutan). Harga keripik porang kering yang mencapai Rp 13.000,- /kg, sangat menggiurkan, jika dibandingkan dengan gaplek singkong yang hanya berkisar Rp 2.000 /kg. Dari satu hektar lahan bisa dihasilkan rata-rata 5 ton keripik Porang.

Tiga hal yang sangat perlu diperhatikan agar program penghijauan dengan pola ini bisa lebih cepat terlihat hasilnya adalah, pertama, perlu diperhatikan jarak tanam, yaitu antar pohon minimal 5 meter. Sehingga sejak tahun kedua naungan daun sudah mencapai kerapatan minimal 60%, dimana kondisi ini cocok untuk digunakan membudidayakan Porang.


Kedua, sejak tahun pertama, sangat penting untuk melakukan percontohan budidaya porang di lahan lain, dalam lingkungan kelompok tani pengelola DAS tersebut. Yaitu disamping untuk mengenalkan pola budidaya Porang sebagai tanaman baru, mengenalkan metoda budidaya dan pengolahan pasca panen, juga untuk meyakinkan petani bahwa komoditas tersebut benar-benar bisa laku sesuai dengan harga yang diinformasikan.

Ketiga, secara alamiah Porang baru bisa dipanen pada tahun ketiga yaitu ketika berat satuan umbi mencapai 1,5 – 2 kg, karena itu sangat penting untuk dipikirkan pengadaan bibit yang bisa langsung dipanen sejak tahun pertama, yaitu bibit berupa umbi seberat 3 – 4 ons.

Rasanya hal-hal tersebut di atas bisa secara komprehensif menjawab permasalahan lingkaran setan program penghijauan dan konservasi lahan, khususnya di DAS di seluruh Indonesia. Dan meskipun di atas kertas terlihat sebagai hal yang sederhana, kenyataan di lapangan tetap memerlukan komitmen dari seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS, dan semua pihak lain yang peduli pada kelestarian ekologi.

cbudiyanto@0209
Artikel disiapkan untuk media
Lihat Bagian 1

Paket Investasi - Menyelamatkan Hutan dengan Solusi 1

Semua sudah mahfum, bahwa kerusakan DAS Bengawan Solo terutama di hulu sungai sudah pada taraf sangat mengkhawatirkan. Sabuk hijau di sekitar aliran sungai yang merupakan daerah tangkapan hujan dan sekaligus penahan tanah dari erosi karena air hujan, sudah berubah menjadi lahan pertanian yang didominasi oleh tanaman semusim.


Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 mencatat peringkat pertama vegetasi yang menutupi subsistem sekitar sungai adalah singkong. Maka sudah tepat jika Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (3/1/2008), akhirnya mengemukakan niatnya mengambil langkah fundamental penyelamatan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo. (Kompas, 8 Januari 2008)

Namun perlu dicermati bahwa program penghijauan bukan sekali ini saja dilakukan. Sudah banyak organisasi non pemerintah atau pemerintah sendiri yang memberikan bibit tanaman kepada warga di sekitar DAS Bengawan Solo dalam program reboisasi dengan tujuan menghijaukan kembali daerah di kanan-kiri sungai yang sudah berubah fungsi. Bahkan hutan sabuk hijau di sekitar hulu sungai Bengawan Solo, sebelum aliran sungai masuk ke kawasan Waduk Gajah Mungkur, adalah bukti bahwa pemerintah telah merencanakan peruntukan lahan sebagai langkah konservasi Bengawan Solo. Dimana sekian ratus meter dari aliran sungai adalah kawasan hutan lindung dengan tanaman keras seperti akasia, mahoni dan sengon. Hingga akhir tahun 80an hutan sabuk hijau tersebut masih cukup lebat, menjadi habitat burung liar, dan mampu menampung air hujan sebagai air tanah. Di dalam kawasan hutan lindung tersebut masih bisa ditemuai aliran kali kecil dengan airnya yang bening didiami ikan air tawar.

Fakta kerusakan hutan lindung pada sabuk hijau DAS Bengawan Solo, dengan segala permasalahannya semestinya dijadikan pelajaran dalam mengelola program penghijauan secara efektif. Harus dicermati masalah sosial dan ekonomi yang melatar belakangi kondisi tersebut, diantaranya sebagai berikut :


1. Kondisi perekonomian petani penggarap lahan DAS rata-rata kurang baik dan sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Lahan yang mereka miliki rata-rata lahan tadah hujan yang hanya bisa ditanami palawija pada musim hujan dan setelahnya ditanami singkong dengan hasil yang minim. Mengolah lahan pasang surut di bantaran sungai adalah alternatif menambah penghasilan bagi warga dengan lahan garapan terbatas ini.

2. Sabuk hijau DAS di bawah pengawasan mantri hutan. Mereka tidak efektif melakukan pengawasan karena beberapa hal, pertama mantri hutan seringkali tidak menempati rumah dinas yang disediakan dalam kawasan hutan, kedua karena keterbatasan personil tidak sebanding dengan area yang harus diawasai, ketiga karena tidak tegasnya para pelaksana di lapangan dalam menegakkan peraturan, keempat semakin hilangnya kesadaran masyarakat untuk tidak mengambil barang yang bukan hakknya, sebagai dampak dari budaya dan contoh koruptif dari para pembesar negara, kelima semakin beratnya tuntutan hidup karena perubahan pola hidup konsumerisme .

3. Perusakan dilakukan secara bertahap dan sistematis. Ranting-ranting dan dahan kecil dipotong untuk keperluan kayu bakar, kemudian sampah daun-daunan dibakar di pangkal pohon, lama kelamaan pohon akan kering dan mati, ketika itu baru pohon ditebang. Hal yang terlihat sederhana ini, akan membawa dampak luas ketika secara komunal dan terus menerus warga melakukan hal yang sama.

4. Program penghijauan dengan menyerahkan bibit tanaman kepada petani sangat tidak efektif. Karena tidak ada pengawasan dan evaluasi atas jalannya program. Kenyataan di lapangan bibit pohon tersebut bisa saja ditanam di lahan perorangan yang tidak termasuk dalam area penghijauan. Atau ketika ditanam di lahan penghijauan secara sengaja tidak diberikan perawatan yang memadai, sehingga akhirnya pohon tersebut pun mati. Akhirnya gerakan penghijauan yang dilakukan tak lebih hanya mekanisme menghambur-hamburkan anggaran dan bagi-bagi rejeki kepada para rekanan.

Bersambung ke bagian - 2

Tuesday, February 10, 2009

Mensiasati Keterbatasan

Permasalahan klasik dari pebisnis manapun adalah : Modal.
Begitu juga yang akan dialami oleh para pemain bisnis Porang/Iles-iles ketika akan memulai bisnis baik dengan cara budidaya mandiri maupun kemitraan.
Tetapi sebenarnya setiap masalah (sepertinya) diciptakan Allah, selalu disertai dengan alternatif solusi yang bisa diambil manusia. Tinggal bagaimana manusia menggunakan kemampuan berpikir, kebijaksanaan dan kesabarannya untuk mengambil langkah yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing.

Begitu juga dengan bisnis porang yang diprediksikan akan menjadi salah satu komoditi andalan agrobisnis. Ada masalah-masalah yang timbul ketika kita hendak memulai usaha ini (saya sendiri juga sempat mengalaminya - karenanya artikel ini sebenarnya lebih bersifat sharing dari yang saya alami)

Masalah yang pertama adalah : Lahan.
Porang memiliki kebutuhan lahan dengan spesifikasi tertentu. Teduh, terlindung dari panas, tidak becek, tidak berada di ketinggian, juga tidak terlalu asam. Jadi meski tidak membutuhkan perlakuan khusus, syarat-syarat lahan di atas perlu dipenuhi. Sampai saat ini pilihan lahan adalah area hutan milik perhutani / dephut. Jika ternyata di sekitar anda tidak ada hutan milik BUMN ini, jangan kecil hati, anda tidak harus memiliki lahan sendiri. Tipsnya, pasti ada warga yang memiliki lahan berupa kebun kayu yang 'biasanya' dibiarkan nganggur, tidak dimanfaatkan, karena menganggap satu-satunya penghasilan dari kebun kayu (jati, sengon, jabon, dll ) adalah kayu itu sendiri. Yang masa investnya cukup lama. Nah anda bisa menyarankan/menawarkan kepada pemilik lahan kebun tersebut untuk melakukan tumpangsari di lahan tersebut. Anda untung pemilik lahan untung. Malah keuntungan buat pemilik lahan bisa ganda. karena dengan ditanami, dirawat, dipupuk, lahan akan semakin subur,dan tanaman kayu sebagai tanaman utama akan memberikan hasil lebih cepat.

Masalah kedua adalah : bibit (modal pengadaan)
Memang masalah siklus investasi akan mengemuka ketika sudah menyinggung tentang bibit, dan modal pengadaan bibitnya. Karena investor besar pasti membandingkan dengan investasi di saham atau moda lain yang return value nya besar dan waktunya pendek. Makanya, jika anda tidak memiliki modal sendiri (yang cukup banyak) untuk membeli bibit siap panen (yang dalam 1 musim tanam sudah bisa panen), kenapa tidak membeli bibit yang perlu nunggu sekian musim untuk siap dipanen. Misalnya dengan bibit katak / bulbil. Memang secara return masih perlu paling tidak 3 tahun untuk panen dari bibit ini. Tetapi - ya itu tadi - kalau modal terbatas tidak ada salahnya untuk menunggu. Bulbil dengan harga 20 rb / kg berisi sekitar 100 biji. Selama 3 tahun (3 musim tanam) anda bisa menghasilkan 100 x 2 kg = 200 kg.. Dengan nilai jual 1500/kg lumayan lah.. Belum lagi ada potensi anda bisa menjual bibit umbi ketika umbi berusia 2 tahun. harganya jauh berada di atas harga jual umbi produksi.

Masalah ketiga adalah : biaya budidaya (pupuk, perawatan)
Jika anda bermitra dengan pemilik lahan, sebenarnya bisa win-win kalau anda menyediakan bibit, mereka merawat dan panenan anda beli. Tetapi seringkali di fase "meyakinkan" petani, anda perlu keluar modal sendiri. Jika tantangannya adalah anda harus merawat sendiri, bahkan harus menyewa lahan. Nah ini waktunya ada sedikit kreatif, terutama untuk penggunaan pupuk dan menyiangi lahan. Pupuk, sebaiknya gunakan sebanyak mungkin pupuk kandang. Kalau di desa, kadang kotoran ternak tidak terlalu banyak digunakan (karena hasilnya dianggap kurang "greng", tidak seperti kalau pakai pupuk kimia). Nah kesempatan anda untuk memanfaatkan pupuk ini. Begitu juga dengan penyiangan, sebenarnya lahan di bawah kebun kayu (jati dll) rumput tidak terlalu masalah, karena jarang memperoleh sinar matahari, rumput jarang tumbuh, sebaliknya ketika sinar matahari mencapai dasar lahan, tanah kering (pada musim kemarau).