bisnis online

Tuesday, February 10, 2009

Mensiasati Keterbatasan

Permasalahan klasik dari pebisnis manapun adalah : Modal.
Begitu juga yang akan dialami oleh para pemain bisnis Porang/Iles-iles ketika akan memulai bisnis baik dengan cara budidaya mandiri maupun kemitraan.
Tetapi sebenarnya setiap masalah (sepertinya) diciptakan Allah, selalu disertai dengan alternatif solusi yang bisa diambil manusia. Tinggal bagaimana manusia menggunakan kemampuan berpikir, kebijaksanaan dan kesabarannya untuk mengambil langkah yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing.

Begitu juga dengan bisnis porang yang diprediksikan akan menjadi salah satu komoditi andalan agrobisnis. Ada masalah-masalah yang timbul ketika kita hendak memulai usaha ini (saya sendiri juga sempat mengalaminya - karenanya artikel ini sebenarnya lebih bersifat sharing dari yang saya alami)

Masalah yang pertama adalah : Lahan.
Porang memiliki kebutuhan lahan dengan spesifikasi tertentu. Teduh, terlindung dari panas, tidak becek, tidak berada di ketinggian, juga tidak terlalu asam. Jadi meski tidak membutuhkan perlakuan khusus, syarat-syarat lahan di atas perlu dipenuhi. Sampai saat ini pilihan lahan adalah area hutan milik perhutani / dephut. Jika ternyata di sekitar anda tidak ada hutan milik BUMN ini, jangan kecil hati, anda tidak harus memiliki lahan sendiri. Tipsnya, pasti ada warga yang memiliki lahan berupa kebun kayu yang 'biasanya' dibiarkan nganggur, tidak dimanfaatkan, karena menganggap satu-satunya penghasilan dari kebun kayu (jati, sengon, jabon, dll ) adalah kayu itu sendiri. Yang masa investnya cukup lama. Nah anda bisa menyarankan/menawarkan kepada pemilik lahan kebun tersebut untuk melakukan tumpangsari di lahan tersebut. Anda untung pemilik lahan untung. Malah keuntungan buat pemilik lahan bisa ganda. karena dengan ditanami, dirawat, dipupuk, lahan akan semakin subur,dan tanaman kayu sebagai tanaman utama akan memberikan hasil lebih cepat.

Masalah kedua adalah : bibit (modal pengadaan)
Memang masalah siklus investasi akan mengemuka ketika sudah menyinggung tentang bibit, dan modal pengadaan bibitnya. Karena investor besar pasti membandingkan dengan investasi di saham atau moda lain yang return value nya besar dan waktunya pendek. Makanya, jika anda tidak memiliki modal sendiri (yang cukup banyak) untuk membeli bibit siap panen (yang dalam 1 musim tanam sudah bisa panen), kenapa tidak membeli bibit yang perlu nunggu sekian musim untuk siap dipanen. Misalnya dengan bibit katak / bulbil. Memang secara return masih perlu paling tidak 3 tahun untuk panen dari bibit ini. Tetapi - ya itu tadi - kalau modal terbatas tidak ada salahnya untuk menunggu. Bulbil dengan harga 20 rb / kg berisi sekitar 100 biji. Selama 3 tahun (3 musim tanam) anda bisa menghasilkan 100 x 2 kg = 200 kg.. Dengan nilai jual 1500/kg lumayan lah.. Belum lagi ada potensi anda bisa menjual bibit umbi ketika umbi berusia 2 tahun. harganya jauh berada di atas harga jual umbi produksi.

Masalah ketiga adalah : biaya budidaya (pupuk, perawatan)
Jika anda bermitra dengan pemilik lahan, sebenarnya bisa win-win kalau anda menyediakan bibit, mereka merawat dan panenan anda beli. Tetapi seringkali di fase "meyakinkan" petani, anda perlu keluar modal sendiri. Jika tantangannya adalah anda harus merawat sendiri, bahkan harus menyewa lahan. Nah ini waktunya ada sedikit kreatif, terutama untuk penggunaan pupuk dan menyiangi lahan. Pupuk, sebaiknya gunakan sebanyak mungkin pupuk kandang. Kalau di desa, kadang kotoran ternak tidak terlalu banyak digunakan (karena hasilnya dianggap kurang "greng", tidak seperti kalau pakai pupuk kimia). Nah kesempatan anda untuk memanfaatkan pupuk ini. Begitu juga dengan penyiangan, sebenarnya lahan di bawah kebun kayu (jati dll) rumput tidak terlalu masalah, karena jarang memperoleh sinar matahari, rumput jarang tumbuh, sebaliknya ketika sinar matahari mencapai dasar lahan, tanah kering (pada musim kemarau).

No comments: